Selasa, 21 Mei 2013

REMAJA DAN KEKERASAN

Fenomena yang Tak Berujung
 Kekerasan di mana-mana. Kata-kata kekerasan, bukan lagi menjadi tabu di tengah masyarakat atau dikalangan remaja, bahkan kini menjadi wacana yang tak berujung dan selalu menyelimuti nuansa-nuansa hidup masyarakat. Di setiap hari, jam, menit, dan bahkan detik selalu terjadi kekerasan. Dilematika tersebut selalu terjadi di sekitar kehidupan manusia, dan lebih jelasnya sering kita lihat di berbagai media, baik itu media elektronik maupun media cetak, dalam berbagai bentuk kejadian ataupun peristiwa. Entah kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak di bawah umur, ataukah kekerasan di kalangan remaja.
Tidak mengherankan jika fakta-fakta tersebut kadang dihubungkan dengan analogi tentang wajah Indonesia. Seperti inikah wajah-wajah Indonesia dengan balutan kekerasan dimana-mana ? Ataukah memang wajah Indonesia dibangun dari kekerasan?
Memiriskan dan memilukan. Mungkin kata itu yang dianggap paling sesuai untuk ditujukan bagi kejadian-kejadian yang menyelimuti  bangsa kita tercinta. Seolah nafas dan irama denyut nadi bangsa ini hanya dilakoni dengan perbuatan kekerasan. Parahnya lagi, kekerasan bukannya semakin berkurang atau teratasi, malahan semakin berkembang dan menjadi sebuah lakon yang lagi trend di tengah masyarakat.
            Seandainya saja tertanam sebuah pemikiran di masing-masing bilik pemikiran masyarakat dan juga kaum remaja, --jika kekerasan itu sama dengan sebuah kejadian yang kebetulan--, maka dapat dipastikan bentuk-bentuk kekerasan tidak menjadi-jadi.  Yah.... mungkin hanya terjadi sesekali dan akhirnya tidak akan terulang lagi. Apatahlagi jika masyarakat memiliki sebuah pemahaman budaya yang fasih tentang kehidupan yang harus dijunjung tinggi dan mulia, maka dengan sendirinya kekerasan nyaris tidak akan terjadi.
            Akan tetapi bagi beberapa orang, ada juga yang memiliki sebuah bentuk penilaian  dan bentuk peyakinan akan sebuah kepercayaan dengan anggapan bahwa di dunia yang fana ini, tidak ada yang di sebut kebetulan. Semua bentuk-bentuk kejadian diamini sebagai kejadian yang ada penyebabnya.
            Yah... tidak ada asap kalau tidak ada api. Anggapan tersebut layak diasumsikan dengan suatu kejadian yang terselimuti di kehidupan manusia. Bahkan, seorang teman saya pernah mengungkapkan  pemikirannya terkait dengan kepercayaan di atas. Ia berkata dengan entengnya bahwa, ”Sesungguhnya terhadap suatu kejadian sudah tentu didahului dengan kejadian yang sudah terjadi sebelumnya”.
Akibat asumsi di atas, pemikiran demi pemikiran mulai menyeruak dengan berbagai pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Salah satunya adalah apakah kejadian-kejadian dalam bentuk-bentuk kekerasan memang ada sumbunya hingga susah dipadamkan?
Acapkali menjadi pemikiran yang tiada berujung membaluti irama akal sehat saya terhadap fenomena di atas. Lalu muncullah suatu memori yang mengarahkan alur pikiran saya pada suatu peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di sekolah saya beberapa bulan yang lalu. Pernah suatu ketika, terjadi perkelahian massal antara siswa laki-laki dengan remaja pengangguran. Kala itu di siang bolong, ketika jam pulang sekolah tiba-tiba terjadi baku hantam di depan sekolah antara beberapa siswa laki-laki dengan remaja pengangguran yang tidak terhitung jumlahnya. Dalam tempo beberapa menit, perkelahian tersebut dapat teratasi dengan cepat setelah ditengahi aparat kepolisian, sehingga tidak terjadilah jatuh korban.
Usut punya usut, ternyata perkelahian tersebut bukan terjadi secara spontanitas. Akan tetapi, telah didahului pertengkaran kecil antara siswa dengan remaja pengangguran dan pada akhirnya melibatkan banyak orang. Berdasarkan kejadian itu,  maka terbentuklah suatu kesimpulan yang mampu menjawab akan keresahan-keresahan terhadap alur pikiran saya. Ternyata, suatu kejadian  kadang didahului dengan kejadian terdahulu hingga berembes kepada kejadian berikutnya dengan permasalahan yang sama. Perkelahian tersebut bukannya menjadi finis setelah aparat turun tangan, akan tetapi diwanti-wanti akan kembali muncul di kemudian hari dengan tajuk yang sama yakni pembalasan.
Meskipun sebenarnya kita tahu bahwa segala bentuk kekerasan remaja tidak muncul begitu saja. Ada faktor-faktor yang turut menunjang remaja untuk melakukan kekerasan tersebut. Seperti pada contoh yang dipaparkan di atas, pada awalnya suatu kekerasan muncul hanya karena suatu permasalahan yang sepele. Mengherankan memang, suatu permasalahan sepele ternyata bisa mengakar dan terus berlanjut ke permasalahan yang lebih besar. Dan jika kita melakukan penyelidikan lebih lanjut, dapat kita simpulkan bahwa suatu tindak kekerasan apalagi kekerasan yang dilakukan oleh remaja, ternyata disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam diri remaja itu sendiri, dan faktor dari luar.
Saat menginjak usia remaja, jiwa seorang manusia akan menjadi labil. Pada masa ini, remaja sedang berada dalam tahap proses pencarian jati diri. Remaja jadi sangat mudah terpengaruh dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya di sekitar lingkungannya. Jika lingkungannya baik, maka baik pulalah remaja itu. Dan sebaliknya, jika lingkungannya buruk maka buruk pulalah remaja itu. Seperti ungkapan yang mengatakan bahwa, ”Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Ungkapan ini sungguh sangat mengena bagi remaja saat ini. Apapun yang dilakukan oleh seorang idola masyarakat, maka remaja akan menirunya. Bahkan remaja cenderung akan melakukan yang lebih dari yang dilakukan sang idola. Inilah salah satu faktor yang dapat mengganggu kejiwaan seorang remaja, yaitu adanya pengaruh dari luar yang berimbas munculnya pengaruh dari diri remaja itu sendiri. Sehingga dalam kehidupannya, seorang remaja akan melakukan tindakan yang semena-mena atau semau gue. Akibatnya, kekerasan menjadi ladang subur bagi remaja untuk mengekspresikan gaya hidup mereka.    
Sebagai sosok remaja di tengah masyarakat, harus ditanamkan pembudayaan kedewasaan menjalani hidup. Jangan mudah terhasut apalagi menjadi sok jagoan kambuhan. Setiap saat yang ada dipikirannya hanya berkelahi untuk mengalahkan lawan-lawannya dengan dalih mau menempoti posisi jago atau jagoan.
Sok, egois, jagoan, dan sejibun kata-kata fenomenal tersebut harus dibuang jauh-jauh dalam benak remaja. Jangan dijadikan pembenaran akan setiap tingkah-tingkah di tengah masyarakat. Remaja harus berani bersikap yang tegas dan lantang untuk mengatakan tidak pada kekerasan.
Intinya adalah remaja  harus berkiblat pada nilai-nilai budaya dalam runutan budaya leluhur Bugis-Makassar. Leluhur di masa lalu telah mengajarkan kepada generasi ke generasi tentang budaya Mali Siparappe, Rebba Sipatokkong, Malilu Siapakinga. Simbolisasi dari ungkapan leluhur tersebut sarat makna untuk kemaslahatan generasi, terutama  terhadap penghentian aksi-aksi kekerasan. Bahwa remaja diharuskan untuk saling menolong (Mali Siparappe), saling menopang (Rebba Sipatokkong), dan saling mengingatkan (Malilu Sipakainga).
Begitu indahnya hidup, tatkala perjalanan kehidupan remaja dibarenagi dengan panutan-panutan ungkapan budaya leluhur. Begitu terasa dan menyentuh relung-relung hidup yang sesungguhnya.
Akan tetapi, jika remaja sebagai ujung tombak dan pilar kemajuan bangsa dan negara tetap tercekoki dengan pemikiran fenomenal yang kekanak-kanakan, maka  sampai kapan pun romansa kehidupan remaja tidak pernah aman. Bahkan  sejarah kekerasan tidak pernah  padam dan berujung atau tidak lekang di makan zaman. (*/Penulis: Takdir Kahar, S.Pd.)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar