Kekerasan di mana-mana.
Kata-kata kekerasan, bukan lagi menjadi tabu di tengah masyarakat atau
dikalangan remaja, bahkan kini menjadi wacana yang tak berujung dan selalu
menyelimuti nuansa-nuansa hidup masyarakat. Di setiap hari, jam, menit, dan
bahkan detik selalu terjadi kekerasan. Dilematika tersebut selalu terjadi di
sekitar kehidupan manusia, dan lebih jelasnya sering kita lihat di berbagai
media, baik itu media elektronik maupun media cetak, dalam berbagai bentuk
kejadian ataupun peristiwa. Entah
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak di bawah umur, ataukah
kekerasan di kalangan remaja.
Tidak mengherankan jika
fakta-fakta tersebut kadang dihubungkan dengan analogi tentang wajah Indonesia.
Seperti inikah wajah-wajah Indonesia dengan balutan kekerasan dimana-mana ? Ataukah
memang wajah Indonesia dibangun dari kekerasan?
Memiriskan dan memilukan.
Mungkin kata itu yang dianggap paling sesuai untuk ditujukan bagi kejadian-kejadian
yang menyelimuti bangsa kita tercinta.
Seolah nafas dan irama denyut nadi bangsa ini hanya dilakoni dengan perbuatan
kekerasan. Parahnya lagi, kekerasan bukannya semakin berkurang atau teratasi,
malahan semakin berkembang dan menjadi sebuah lakon yang lagi trend di tengah
masyarakat.
Seandainya
saja tertanam sebuah pemikiran di masing-masing bilik pemikiran masyarakat dan
juga kaum remaja, --jika kekerasan itu sama dengan sebuah kejadian yang
kebetulan--, maka dapat dipastikan bentuk-bentuk kekerasan tidak
menjadi-jadi. Yah.... mungkin hanya
terjadi sesekali dan akhirnya tidak akan terulang lagi. Apatahlagi jika
masyarakat memiliki sebuah pemahaman budaya yang fasih tentang kehidupan yang
harus dijunjung tinggi dan mulia, maka dengan sendirinya kekerasan nyaris tidak
akan terjadi.
Akan
tetapi bagi beberapa orang, ada juga yang memiliki sebuah bentuk penilaian dan bentuk peyakinan akan sebuah kepercayaan
dengan anggapan bahwa di dunia yang fana ini, tidak ada yang di sebut
kebetulan. Semua bentuk-bentuk kejadian diamini sebagai kejadian yang ada
penyebabnya.
Yah...
tidak ada asap kalau tidak ada api. Anggapan tersebut layak diasumsikan dengan
suatu kejadian yang terselimuti di kehidupan manusia. Bahkan, seorang teman saya
pernah mengungkapkan pemikirannya terkait
dengan kepercayaan di atas. Ia berkata dengan entengnya bahwa, ”Sesungguhnya
terhadap suatu kejadian sudah tentu didahului dengan kejadian yang sudah
terjadi sebelumnya”.
Akibat asumsi di atas, pemikiran
demi pemikiran mulai menyeruak dengan berbagai pertanyaan yang muncul dalam
benak saya. Salah satunya adalah apakah kejadian-kejadian dalam bentuk-bentuk
kekerasan memang ada sumbunya hingga susah dipadamkan?
Acapkali menjadi pemikiran
yang tiada berujung membaluti irama akal sehat saya terhadap fenomena di atas.
Lalu muncullah suatu memori yang mengarahkan alur pikiran saya pada suatu
peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di sekolah saya beberapa bulan yang
lalu. Pernah suatu ketika, terjadi perkelahian massal antara siswa laki-laki
dengan remaja pengangguran. Kala itu di siang bolong, ketika jam pulang sekolah
tiba-tiba terjadi baku hantam di depan sekolah antara beberapa siswa laki-laki
dengan remaja pengangguran yang tidak terhitung jumlahnya. Dalam tempo beberapa
menit, perkelahian tersebut dapat teratasi dengan cepat setelah ditengahi
aparat kepolisian, sehingga tidak terjadilah jatuh korban.
Usut punya usut, ternyata
perkelahian tersebut bukan terjadi secara spontanitas. Akan tetapi, telah
didahului pertengkaran kecil antara siswa dengan remaja pengangguran dan pada
akhirnya melibatkan banyak orang. Berdasarkan kejadian itu, maka terbentuklah suatu kesimpulan yang mampu
menjawab akan keresahan-keresahan terhadap alur pikiran saya. Ternyata, suatu kejadian kadang didahului dengan kejadian terdahulu
hingga berembes kepada kejadian berikutnya dengan permasalahan yang sama.
Perkelahian tersebut bukannya menjadi finis setelah aparat turun tangan, akan
tetapi diwanti-wanti akan kembali muncul di kemudian hari dengan tajuk yang sama
yakni pembalasan.
Meskipun sebenarnya kita tahu
bahwa segala bentuk kekerasan remaja tidak muncul begitu saja. Ada
faktor-faktor yang turut menunjang remaja untuk melakukan kekerasan tersebut. Seperti
pada contoh yang dipaparkan di atas, pada awalnya suatu kekerasan muncul hanya
karena suatu permasalahan yang sepele. Mengherankan memang, suatu permasalahan
sepele ternyata bisa mengakar dan terus berlanjut ke permasalahan yang lebih
besar. Dan jika kita melakukan penyelidikan lebih lanjut, dapat kita simpulkan
bahwa suatu tindak kekerasan apalagi kekerasan yang dilakukan oleh remaja,
ternyata disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam diri remaja itu
sendiri, dan faktor dari luar.
Saat menginjak usia remaja,
jiwa seorang manusia akan menjadi labil. Pada masa ini, remaja sedang berada
dalam tahap proses pencarian jati diri. Remaja jadi sangat mudah terpengaruh
dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya di sekitar lingkungannya.
Jika lingkungannya baik, maka baik pulalah remaja itu. Dan sebaliknya, jika
lingkungannya buruk maka buruk pulalah remaja itu. Seperti ungkapan yang
mengatakan bahwa, ”Guru kencing berdiri,
murid kencing berlari”. Ungkapan ini sungguh sangat mengena bagi remaja
saat ini. Apapun yang dilakukan oleh seorang idola masyarakat, maka remaja akan
menirunya. Bahkan remaja cenderung akan melakukan yang lebih dari yang
dilakukan sang idola. Inilah salah satu faktor yang dapat mengganggu kejiwaan
seorang remaja, yaitu adanya pengaruh dari luar yang berimbas munculnya
pengaruh dari diri remaja itu sendiri. Sehingga dalam kehidupannya, seorang
remaja akan melakukan tindakan yang semena-mena atau semau gue. Akibatnya, kekerasan menjadi ladang subur bagi remaja
untuk mengekspresikan gaya hidup mereka.
Sebagai sosok remaja di tengah
masyarakat, harus ditanamkan pembudayaan kedewasaan menjalani hidup. Jangan
mudah terhasut apalagi menjadi sok jagoan kambuhan. Setiap saat yang ada
dipikirannya hanya berkelahi untuk mengalahkan lawan-lawannya dengan dalih mau
menempoti posisi jago atau jagoan.
Sok, egois, jagoan, dan
sejibun kata-kata fenomenal tersebut harus dibuang jauh-jauh dalam benak
remaja. Jangan dijadikan
pembenaran akan setiap tingkah-tingkah di tengah masyarakat. Remaja harus
berani bersikap yang tegas dan lantang untuk mengatakan tidak pada kekerasan.
Intinya adalah remaja harus berkiblat pada nilai-nilai budaya dalam
runutan budaya leluhur Bugis-Makassar. Leluhur di masa lalu telah mengajarkan
kepada generasi ke generasi tentang budaya Mali
Siparappe, Rebba Sipatokkong, Malilu Siapakinga. Simbolisasi dari ungkapan
leluhur tersebut sarat makna untuk kemaslahatan generasi, terutama terhadap penghentian aksi-aksi kekerasan. Bahwa
remaja diharuskan untuk saling menolong (Mali
Siparappe), saling menopang (Rebba
Sipatokkong), dan saling mengingatkan (Malilu
Sipakainga).
Begitu indahnya hidup, tatkala
perjalanan kehidupan remaja dibarenagi dengan panutan-panutan ungkapan budaya
leluhur. Begitu terasa dan menyentuh relung-relung hidup yang sesungguhnya.
Akan tetapi, jika remaja sebagai
ujung tombak dan pilar kemajuan bangsa dan negara tetap tercekoki dengan
pemikiran fenomenal yang kekanak-kanakan, maka sampai kapan pun romansa kehidupan remaja
tidak pernah aman. Bahkan sejarah
kekerasan tidak pernah padam dan
berujung atau tidak lekang di makan zaman. (*/Penulis: Takdir Kahar, S.Pd.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar