Selasa, 21 Mei 2013

NEGERI PENUH KONTRADIKSI

Kita harus jujur mengakui bahwa republik Indonesia mengalami  kontradiksi yang berkepanjangan. Silih berganti masalah yang terjadi di negeri ini,  namun terkadang sejumlah masalah tersebut tak ada penyelesaiannya secara ‘kaffah’. Sebut saja kasus mafia pajak yang belum terungkap seratus persen. Belum lagi kasus korupsi yang semakin merajalela yang tiada ujungpangkalnya.
              Dalam wacana pemberantasan korupsi  dibelahan bumi ini, Republik Rakyat Cina patut diacungi jempol. Pemerintahnya sangat serius menangani kasus korupsi. Bahkan presiden negeri tirai bambu kala  itu,  Zu Rong Ji, sehari setelah terpilih sebagai presiden mengeluarkan maklumat  ke seantero  daratan cina, “Saya telah memesan 100 peti mati. Sembilan puluh sembilan  untuk para koruptor. Sisanya satu untuk saya sendiri  jika saya melakukan  korupsi.”
            Asumsi dasarnya sederhana, uang yang seharusnya  bisa dipakai rakyat yang kelaparan untuk makan atau mengobati rakyat yang sekarat,  karena dikorup dan langsung  lari ke kantong koruptor untuk hidup bermewah-mewah. Maka langkah terbaik yang setimpal adalah hukuman mati. Sedangkan di negeri Indonesia yang kaya akan kekayaan alam dan kaya juga bencananya ini, jika bebas dari tuduhan korupsi, -- meski sebenarnya ia pernah korupsi uang negara, tapi tak cukup bukti untuk menjeratnya masuk  penjara—malah sujud  syukur  karena bebas  dari hukuman. Pelaku kolusi dan penyogok  pejabat tetap bisa berhutbah layaknya orang yang tak punya salah.
            Koruptor adalah manusia yang menjijikkan dan lebih jijik dari binatang. Jika ia pejabat yang korup dan sebelumnya telah diberi amanah untuk tidak melakukan tindakan korupsi, tapi malah ngotot melakukan pemerkosaan terhadap amanah, maka dengan amanah yang tidak suci lagi itu,  ia semakin bebas  mencuri triliunan uang rakyat dengan mulut dan tangan yang sama mereka gunakan sewaktu  bersumpah jabatan.
            Sebuah perenungan moral dari  Lord Acton yang layak untuk digugu bahwa ketika opini berubah, tata cara kehidupan berganti, keyakinan muncul dan tenggelam, tetapi hukum-hukum moral  telah ditulis  di atas meja keabadian.  Menurut analogi Saya, kata-kata bijak Lord Acton tersebut pantas untuk direnungkan dengan sepenuh jiwa di tengah suasana bangsa yang dirundung masalah demi masalah. Subtansinya sederhana bahwa kalimat Lord Acton adalah kredo dari sebuah moral bangsa  tidak boleh berubah meski pergulatan pelaku sejarah bangsa silih berganti dalam menduduki  tahta jabatan.  Pertanyaannya sekarang adalah sudah sejauh mana perjalanan bangsa ini, hingga korupsi semakin tumbuh subur?  Bukan hanya itu sejengkal demi sejengkal peristiwa yang terjadi  dan menimbulkan banyak korban jiwa, berlalu begitu saja dan nyaris  tak ada penyelesaiannya yang sempurna. Pertanyaan-pertanyaan tersebut  tidak gampang untuk menjawabnya dengan sempurna.  Yang dibutuhkan bukan sekadar  retorika, akan tetapi yang diperlukan adalah jawaban jujur dari hati yang paling dalam.
Sekali lagi, kejujuran  bagi bangsa Indonesia  sangat penting  karena dengan kejujuran  akan muncul perasaan mau mengakui kekurangan, kesalahan, dan keterpurukan. Negeri kita memang sudah lekat dengan negeri yang kaya dengan kontradiksi. Masalah demi masalah yang terjadi selalu dihiasi cerita-cerita klasik, sehingga subtansi penyelesaian masalah terkadang tak berujung.  Secara logika bahwa carutmarutnya  perilaku kehidupan berbangsa  dan bernegara senantiasa berimplikasi pada sistem nilai dan norma-norma yang melekat di masyarakat. Sudah menjadi makanan setiap hari bangsa ini dengan hidangan sejumlah konflik kepentingan sosial, lemahnya sistem hukum, dan kerancuan etika politik  yang terus terjadi.
Sejatinya sekarang adalah saatnya bangsa ini melakukan perenungan sejarah. Harus ada fighting  spirit (semangat berjuang) untuk membangkitkannya. Bung Karno tidaklah salah kalau tidak peduli dengan ‘kayu dan bara’  sejarah. Bung Karno lebih terpukau pada ‘apinya sejarah’. Kayu dan bara sejarah bisa berkisah tentang berbagai corak gejolak sejarah dan mungkin juga memantulkan kearifan sejarah yang terus berinspirasi  bagi bangsa yang terus berjuang keluar dari masalah demi masalah yang mendera negeri tercinta Indonesia.
Memang bangsa ini tak lepas dari sebuah kontradiksi.  Betapa tidak, ketika Gusdur naik jabatan dalam tahta kursi kepresidenan di bulan Oktober 1999, kata pertama yang diucapkan dengan lantang saat dilantik menjadi presiden keempat RI di sidang umum MPR adalah kata-kata yang sarat dengan kontradiksi. Ia menyebutkan seperti ini, “Hari ini kita rayakan kemerdekaan kita yang kedua”.  Kata-kata tersebut memang ada juga benarnya, Gusdur punya logika tersendiri bahwa orde lama maupun orde baru telah membuat kita tidak merdeka meskipun kita sudah merdeka.  Tokoh pluralisme ini mengakui jika kemerdekaan yang kedua sedang lumpuh. Kelumpuhan tersebut bukan tanpa sebab dengan ketidakberdayaan menghadapi fenomena perpecahan di berbagai wilayah di NKRI kala itu. Sebut saja di tahun 1999 kala itu banyak daerah di Indonesia seperti Aceh dan Makassar ingin memisahkan diri dan merdeka.
Kontradiksi negeri ini memang tak kunjung usai.  Sosok Bacharuddin Jusuf Habibie, yang pernah menjabat sebagai presiden RI pun pernah mengungkapkan bahwa memang banyak masalah yang terjadi di negeri ini. Akan tetapi generasi sekarang bukan mempermasalahkan nasionalisme melainkan yang dipersoalkan dan dikehendaki adalah keadilan, ketentraman,  dan kesejahteraan bagi semua.
Dalam konteks membangkitkan bangsa keluar dari seribu satu masalah saat ini, diskursus yang dikembangkan sekarang adalah bagaimana agar bangsa ini  tidak lagi terjebak pada masa lalu dan juga masa kini yang masih menyisahkan jebakan-jebakan masalah bangsa yang menasional.  Masa lalu dalam konteks kesejarahan, memang masih dibutuhkan karena kejadian-kejadian di masa silam akan memberikan inspirasi  untuk menatap masa depan bangsa  yang lebih gemilang.  Yang menjadi ganjalan adalah  bagaimana agar bangsa ini bisa menatap masa depan  dengan semangat baru  yang tidak terkontaminasi  oleh kepentingan sempit yang bersifat egosentris  kelompok atau aksesori-aksesori kekuasaan.
Sekarang saatnya kita keluar dari jebakan-jebakan kontradiksi bangsa yang terjadi selama ini untuk menuju pada kehidupan damai dan sejahtera. Banyak kontradiksi telah terjadi di negeri ini dan semuanya sulit  untuk dimengerti. Jika  dua kepentingan—kepentingan birokrat dan kepentingan  rakyat- sudah saling berhadap-hadapan , maka siapa yang harus mengalah? Walaupun kedua-duanya menganggap dirinya benar, tak mungkin kedua-duanya benar dalam waktu bersamaan. Salah satunya haruslah salah. Lantas  siapa yang dipersalahkan? Tentunya bukan ‘si kambing hitam’ atau yang lainnya. Dan pasti rakyat tak pernah salah, karena dapat dipastikan suara rakyat adalah suara kebenaran.
Sekarang kita renungkan kembali Indonesia, hambatan apa yang mendera bangsa ini untuk bisa lepas dari masalah demi masalah? Meminjam pernyataan ekonom Cyrillus Harinowo bahwa salah satu item yang harus dimiliki adalah optimisme dan menghilangkan mental inferior.  Dan sangat mendasar sekali untuk dipahami adalah bangsa ini harus mau belajar  dari kesalahan  untuk keluar dari masalah dengan menyelesaikan masalah dengan bijak dan seadil-adilnya.  Sekarangnya saatnya bangkit atau tidak sama sekali. (*/Penulis: Takdir Kahar, S.Pd.)
Penulis:  Ketua HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah  1999, Redaktur Pelaksana LPPM Profesi 1999-2000, Sekjend Maperwa FBS tahun 2000, sekarang mengajar di SMAN 1 Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai) email: takdirkahar2013@gmail.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar