Kita harus jujur mengakui bahwa
republik Indonesia mengalami kontradiksi
yang berkepanjangan. Silih berganti masalah yang terjadi di negeri ini, namun terkadang sejumlah masalah tersebut tak
ada penyelesaiannya secara ‘kaffah’. Sebut saja kasus mafia pajak yang belum
terungkap seratus persen. Belum lagi kasus korupsi yang semakin merajalela yang
tiada ujungpangkalnya.
Dalam wacana pemberantasan korupsi
dibelahan bumi ini, Republik Rakyat Cina patut diacungi jempol.
Pemerintahnya sangat serius menangani kasus korupsi. Bahkan presiden negeri
tirai bambu kala itu, Zu Rong Ji, sehari setelah terpilih sebagai
presiden mengeluarkan maklumat ke
seantero daratan cina, “Saya telah
memesan 100 peti mati. Sembilan puluh sembilan
untuk para koruptor. Sisanya satu untuk saya sendiri jika saya melakukan korupsi.”
Asumsi dasarnya sederhana, uang yang
seharusnya bisa dipakai rakyat yang
kelaparan untuk makan atau mengobati rakyat yang sekarat, karena dikorup dan langsung lari ke kantong koruptor untuk hidup
bermewah-mewah. Maka langkah terbaik yang setimpal adalah hukuman mati. Sedangkan
di negeri Indonesia yang kaya akan kekayaan alam dan kaya juga bencananya ini,
jika bebas dari tuduhan korupsi, -- meski sebenarnya ia pernah korupsi uang
negara, tapi tak cukup bukti untuk menjeratnya masuk penjara—malah sujud syukur
karena bebas dari hukuman. Pelaku
kolusi dan penyogok pejabat tetap bisa
berhutbah layaknya orang yang tak punya salah.
Koruptor adalah manusia yang
menjijikkan dan lebih jijik dari binatang. Jika ia pejabat yang korup dan
sebelumnya telah diberi amanah untuk tidak melakukan tindakan korupsi, tapi
malah ngotot melakukan pemerkosaan terhadap amanah, maka dengan amanah yang
tidak suci lagi itu, ia semakin
bebas mencuri triliunan uang rakyat
dengan mulut dan tangan yang sama mereka gunakan sewaktu bersumpah jabatan.
Sebuah perenungan moral dari Lord Acton yang layak untuk digugu bahwa
ketika opini berubah, tata cara kehidupan berganti, keyakinan muncul dan
tenggelam, tetapi hukum-hukum moral
telah ditulis di atas meja
keabadian. Menurut analogi Saya,
kata-kata bijak Lord Acton tersebut pantas untuk direnungkan dengan sepenuh
jiwa di tengah suasana bangsa yang dirundung masalah demi masalah. Subtansinya
sederhana bahwa kalimat Lord Acton adalah kredo dari sebuah moral bangsa tidak boleh berubah meski pergulatan pelaku
sejarah bangsa silih berganti dalam menduduki tahta jabatan. Pertanyaannya sekarang adalah sudah sejauh
mana perjalanan bangsa ini, hingga korupsi semakin tumbuh subur? Bukan hanya itu sejengkal demi sejengkal
peristiwa yang terjadi dan menimbulkan
banyak korban jiwa, berlalu begitu saja dan nyaris tak ada penyelesaiannya yang sempurna. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut tidak gampang untuk menjawabnya
dengan sempurna. Yang dibutuhkan bukan
sekadar retorika, akan tetapi yang
diperlukan adalah jawaban jujur dari hati yang paling dalam.
Sekali lagi, kejujuran bagi bangsa Indonesia sangat penting karena dengan kejujuran akan muncul perasaan mau mengakui kekurangan,
kesalahan, dan keterpurukan. Negeri kita memang sudah lekat dengan negeri yang
kaya dengan kontradiksi. Masalah demi masalah yang terjadi selalu dihiasi
cerita-cerita klasik, sehingga subtansi penyelesaian masalah terkadang tak
berujung. Secara logika bahwa
carutmarutnya perilaku kehidupan
berbangsa dan bernegara senantiasa
berimplikasi pada sistem nilai dan norma-norma yang melekat di masyarakat.
Sudah menjadi makanan setiap hari bangsa ini dengan hidangan sejumlah konflik
kepentingan sosial, lemahnya sistem hukum, dan kerancuan etika politik yang terus terjadi.
Sejatinya sekarang adalah saatnya
bangsa ini melakukan perenungan sejarah. Harus ada fighting spirit (semangat
berjuang) untuk membangkitkannya. Bung Karno tidaklah salah kalau tidak peduli
dengan ‘kayu dan bara’ sejarah. Bung Karno
lebih terpukau pada ‘apinya sejarah’. Kayu dan bara sejarah bisa berkisah
tentang berbagai corak gejolak sejarah dan mungkin juga memantulkan kearifan
sejarah yang terus berinspirasi bagi
bangsa yang terus berjuang keluar dari masalah demi masalah yang mendera negeri
tercinta Indonesia.
Memang bangsa ini tak lepas dari
sebuah kontradiksi. Betapa tidak, ketika
Gusdur naik jabatan dalam tahta kursi kepresidenan di bulan Oktober 1999, kata
pertama yang diucapkan dengan lantang saat dilantik menjadi presiden keempat RI
di sidang umum MPR adalah kata-kata yang sarat dengan kontradiksi. Ia
menyebutkan seperti ini, “Hari ini kita rayakan kemerdekaan kita yang
kedua”. Kata-kata tersebut memang ada
juga benarnya, Gusdur punya logika tersendiri bahwa orde lama maupun orde baru
telah membuat kita tidak merdeka meskipun kita sudah merdeka. Tokoh pluralisme ini mengakui jika kemerdekaan
yang kedua sedang lumpuh. Kelumpuhan tersebut bukan tanpa sebab dengan ketidakberdayaan
menghadapi fenomena perpecahan di berbagai wilayah di NKRI kala itu. Sebut saja
di tahun 1999 kala itu banyak daerah di Indonesia seperti Aceh dan Makassar
ingin memisahkan diri dan merdeka.
Kontradiksi negeri ini memang tak
kunjung usai. Sosok Bacharuddin Jusuf
Habibie, yang pernah menjabat sebagai presiden RI pun pernah mengungkapkan
bahwa memang banyak masalah yang terjadi di negeri ini. Akan tetapi generasi
sekarang bukan mempermasalahkan nasionalisme melainkan yang dipersoalkan dan dikehendaki
adalah keadilan, ketentraman, dan
kesejahteraan bagi semua.
Dalam konteks membangkitkan bangsa
keluar dari seribu satu masalah saat ini, diskursus yang dikembangkan sekarang
adalah bagaimana agar bangsa ini tidak
lagi terjebak pada masa lalu dan juga masa kini yang masih menyisahkan
jebakan-jebakan masalah bangsa yang menasional. Masa lalu dalam konteks kesejarahan, memang
masih dibutuhkan karena kejadian-kejadian di masa silam akan memberikan
inspirasi untuk menatap masa depan
bangsa yang lebih gemilang. Yang menjadi ganjalan adalah bagaimana agar bangsa ini bisa menatap masa
depan dengan semangat baru yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan sempit yang bersifat
egosentris kelompok atau
aksesori-aksesori kekuasaan.
Sekarang saatnya kita keluar dari
jebakan-jebakan kontradiksi bangsa yang terjadi selama ini untuk menuju pada kehidupan
damai dan sejahtera. Banyak kontradiksi telah terjadi di negeri ini dan
semuanya sulit untuk dimengerti. Jika dua kepentingan—kepentingan birokrat dan
kepentingan rakyat- sudah saling
berhadap-hadapan , maka siapa yang harus mengalah? Walaupun kedua-duanya
menganggap dirinya benar, tak mungkin kedua-duanya benar dalam waktu bersamaan.
Salah satunya haruslah salah. Lantas
siapa yang dipersalahkan? Tentunya bukan ‘si kambing hitam’ atau yang
lainnya. Dan pasti rakyat tak pernah salah, karena dapat dipastikan suara
rakyat adalah suara kebenaran.
Sekarang kita renungkan kembali
Indonesia, hambatan apa yang mendera bangsa ini untuk bisa lepas dari masalah
demi masalah? Meminjam pernyataan ekonom Cyrillus Harinowo bahwa salah satu
item yang harus dimiliki adalah optimisme dan menghilangkan mental inferior. Dan sangat mendasar sekali untuk dipahami
adalah bangsa ini harus mau belajar dari
kesalahan untuk keluar dari masalah
dengan menyelesaikan masalah dengan bijak dan seadil-adilnya. Sekarangnya saatnya bangkit atau tidak sama
sekali. (*/Penulis: Takdir Kahar, S.Pd.)
Penulis: Ketua HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah 1999, Redaktur Pelaksana LPPM
Profesi 1999-2000, Sekjend Maperwa FBS tahun 2000, sekarang mengajar di SMAN 1
Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai) email: takdirkahar2013@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar