Rabu, 22 Mei 2013

MENANTI BANGKITNYA PENDIDIKAN

(Tinjaun tentang Pendidikan Gratis di Sinjai)
Gebrakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sinjai di bidang pendidikan dengan  pembebasan biaya pendidikan pada tataran Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) mendapat acungan jempol dari masyarakat. Terobosan Pemkab tersebut, diyakini sebagai cikal bakal untuk menanti bangkitnya pendidikan di Kabupaten Sinjai. Perhatian khusus Pemkab di bidang pendidikan, harus didukung sepenuhnya dari semua kalangan masyarakat. Meski pembebasan biaya pendidikan tersebut, baru dilakukan pada level Sekolah Dasar sampai ke jenjang Sekolah Menengah Pertama.  
Perlahan tapi pasti. Mungkin kata tersebut yang cocok untuk pembebasan biaya pendidikan di Sinjai. Sebab mayoritas penduduk Kabupaten Sinjai adalah petani dan nelayan yang masih banyak tertinggal dalam bidang pendidikan. Selain karena masyarakat tidak punya biaya, juga disebabkan adanya dikotomi pemikiran masyarakat yang tidak peduli pada pendidikan.
Apakah pendidikan itu mahal? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang selalu menyelimuti alur pemikiran bagi kalangan masyarakat, lebih khusus kepada golongan masyarakat pinggiran atau minoritas.  Pasalnya, setiap tahun biaya pendidikan rata-rata mengalami peningkatan, mulai pada jenjang Sekolah Dasar sampai ke jenjang tingkat Perguruan Tinggi.
Sebagai masyarakat minoritas, biasanya kurang mengetahui siklus perkembangan pendidikan, termasuk siklus setiap perubahan yang terjadi di negeri ini. Golongan masyarakat seperti itu, biasanya mempunyai analogi pemikiran bahwa pendidikan itu ibarat sebuah barang langka yang terkesan mewah dan susah terbeli, meski sepatutnya wajib dimiliki oleh setiap warga negara di negeri tercinta Indonesia.
Tidak salah bila penyanyi kawakan Iwal Fals dalam lagunya "Mimpi yang Terbeli" begitu menyentuh dengan kondisi realitas di atas, bahwa semuanya bisa terbeli asal uang di kantong cukup dan tak ada soal.
Bila dianulir dalam setiap pemikiran kita,  maka pendidikan itu memang setara dengan sebuah hayalan besar yang selalu diimpikan oleh rakyat untuk memilikinya. Tapi akankah itu bisa terwujud? Kenyataannya, beberapa masyarakat menilai, --jangankan  untuk duduk di bangku Sekolah Dasar hingga nantinya bisa menjadi sarjana bagi masa depan orang tua, bangsa dan negeri tercinta--, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari (primer) pun sangat susah.
Akan tetapi, adanya terobosan Pemerintah Kabupaten Sinjai dalam pembebasan biaya pendidikan pada jenjang SD dan SMP, maka tidak ada alasan lagi bagi masyarakat di Kabupaten Sinjai  untuk tidak menyekolahkan anaknya. Kebijakan Bupati tersebut, oleh kalangan masyarakat dinilai sebagai langkah berani.  Oleh sejumlah pakar pendidikan berargumen bahwa pembebasan biaya pendidikan terkadang menghadapi masalah yang cukup berat. Pasalnya, menyedot anggaran daerah yang tidak sedikit jumlahnya. Bahkan secara jelas H Mohammad Surya, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, meragukan adanya daerah yang berani menggratiskan biaya pendidikan, karena biaya pendidikan sangat besar dan tidak mungkin murah atau gratis. Keraguan tersebut sangat beralasan, sebab sesuai perkiraan Depdiknas, terwujudnya pendidikan yang bermutu membutuhkan anggaran yang banyak dengan satuan biaya per tahun per siswa ialah Rp. 13.4465 untuk SD, Rp. 27.4365 untuk SMP, Rp. 35.52269 untuk SMA dan sekitar 40 juta untuk SMK.
Kendati demikian, penulis menilai bahwa terobosan-terobosan pembebasan biaya pendidikan atau perhatian khusus kepada bidang pendidikan dari Pemerintah Sinjai sudah sejalan dengan mukaddimah Undang-Undang dasar 1945. Secara jelas telah tersurat dan tersirat bahwa salah satu tujuan nasional yang dirumuskan  oleh para pendiri negeri ini adalah ’mencerdaskan kehidupan bangsa’. Makna fundamental yang terkandung dalam pesan tersebut, bahwa kekuatan dan kemajuan sutau bangsa  terletak pada kualitas  sumber daya manusia. Kata kuncinya adalah pendidikan. Sementara pada Pasal 31 UUD 1945 telah mengamanatkan bawa setiap warga negara berhak memperoleh  pendidikan, setiap warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib menyediakan dananya. Masih dalam pasal itu, --pasca amandemen—bahwa pemerintah mengupayakan tersedianya dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% di dalam APBN dan APBD.
Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi  yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya (ayat 1 huruf c dan d). Selain itu, pada pasal 40 ayat 1 dikatakan bahwa Pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sedangkan alokasi dana pendidikan dijelaskan lagi pada pasal 49 ayat 1  bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan minimal 20% di APBD.
Realitas di atas adalah gambaran tentang mahalnya pendidikkan. Namun penulis kembali menilai dengan kebijakan Bupati Kabupaten Sinjai dalam pembebasan biaya pendidikan di jenjang SD dan SMP adalah cerminan pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-Undang. Selain itu, sebagai wujud, kemauan, dan komitmen politik dari pemerintah untuk menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan sehingga menjadi prioritas  dalam keseluruhan pembangunan dan lebih khusus pada bidang pendidikan dan  terlepas dari konsekuensi mahalnya anggaran untuk pendidikan.
Kenyataan dan fakta-fakta terobosan pemerintah di bidang pendidikan harus didukung sepenuhnya. Mudah-mudahan Kabupaten Sinjai dapat bangkit dari benang kusut pendidikan serta menjadi pilot projek di sejumlah daerah di Indonesia dalam pembebasan pembiayaan pendidikan. Sehingga nantinya, kualitas pendidikan nasional dapat bangkit  kembali.
Sesuai hasil survei sejumlah lembaga internasional, bahwa kualitas pendidikan Indonesia sangat terpuruk atau tertinggal. Berdasarkan laporan Poliitical and Risck Consultan (PERC), kualitas pendidikan Indonesia menempati posisi terakhir dari 12 negara di dunia. Padahal, Indonesia adalah negara  yang lebih cepat memulai  pembangunan dibandingkan dengan negara Vitenam dan Kamboja yang sekarang lebih maju pendidikannya. Permasalahan-permasalahan tersebut membutuhkan ’political will’ yang kuat dari pemerintah.
            Kapan pendidikan di Indonesia bangkit untuk sejajar dengan sejumlah negara di ASEAN dan dunia pada umumnya?  Penulis menilai, pendidikan Indonesia bisa bangkit apabila dijadikan prioritas secara nyata. Bukan justru menempatkan pendidikan diurutan terakhir serta menjadikan pendidikan sebagai alat kepentingan. Sebab bisa saja nantinya pendidikan nasional Indonesia mengalami suatu involusi -meminjam terminologi Clifford Geertz. Ibaratnya, pendidikan Indonesia seperti kapal besar yang mengalami korosi dan mengaram. Makin lama makin tenggelam. Terombang-ambing di tengah ombak, tanpa arah dan tujuan jelas.  Dengan kata lain, manusia-manusia yang bergulat dalam dunia pendidikan bukan makin tumbuh cerdas, berwawasan luas, berdedikasi tinggi, kreatif, jujur dan adil, atau beretos kerja meski fasilitas fisiknya bertambah.  (Kompas, 25/9/2004)
            Realitas dalam terminologi Clifford Geertz tersebut tidak boleh kita diamkan begitu saja, apatahlagi kita terninabobokan dalam persaingan kompetisi. Pemerintah sebagai penentu kebijakan, harus menggalang secepatnya sebuah kekuatan baru yang maha pembaharu yang bisa memberi solusi untuk memperbaiki sistem pendidikan serta menjadikan pendidikan yang utama dan pertama dalam mengangkat kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
            Seperti yang pernah diberitakan dalam sebuah media massa nasional menyebutkan, sejumlah negara-negara tetangga gencar menggenjot pendidikan bagi kemaslahatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Seperti  mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahamatir Mohammad pada tahun terakhir masa pemerintahannya menjadikan pendidikan sebagai program terpenting. Begitupun dengan negara ASEAN lainnya seperti  Thailand melalui perdana menterinya, Thaksin Shinawata melalui lima menterinya berjuang sungguh-sungguh membenahi mutu sekolah dengan julukan negeri gajah putih itu. Tidak terkecuali, negara sekecil Singapura tak mau ketinggalan dalam bidang pendidikan.  Negara yang menjadi pusat perdagangan dan perekonomian  di Asia Tenggara itu membuat terobosan yang luar biasa dengan membuat program menciptakan masyarakat ilmu pengetahuan dan pendidikan seumur hidup.  Secara totalitas jumlah siswa  yang mendaftar masuk ke SMA dan perguruan tinggi di Thailand, Filipina, Singapura, dan Malaysia berada di atas pencapaian Indonesia.
            Fakta-fakta tersebut janganlah diabaikan begitu saja atau kita terlena dalam keterpurukan pendidikan di Indonesia.  Semua masyarakat dan lebih-lebih pemerintah (eksekutif) serta semua wakil rakyat yang duduk di kursi legislatif, --entah di pusat atau di daerah--, harus bersama-sama membenahi peningkatan mutu pendidikan.
            Harus diakui bahwa pendidikan adalah mata rantai utama dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia.  Sehingga apapun adanya, pendidikan harus jadi prioritas di negeri tercinta Indonesia.  Pasalnya. Ketika ada kebijakan di bidang pendidikan yang kurang bijak dan tidak terlalu menyentuh secara riil akan sebuah pendidikan yang sesungguhnya maka kemungkinan besar akan mengakibatkan degradasi secara serius terhadap output pendidikan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa upaya mempertajam kualitas SDM menjadi terhambat, dan pengaruhnya akan terus merembet ke sektor-sektor lain.
            Contoh kecil seperti kasus penggelontoran atau pengusiran secara paksa tenaga kerja Indonesia (TKI) sekarang ini  dari negeri jiran Malaysia adalah salah satu bukti nyata bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam hal kualitas pendidikan. Jika para TKI sebelum ke luar negeri mempunyai bekal pendidikan atau SDM yang matang tentu akan menempuh cara bekerja yang legal dan bukannya secara ilegal. Dengan kata lain para TKI tidak dibodoh-bodohi oleh para calo TKI dengan janji-janji palsu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, padahal janji pekerjaan hanyalah kamuflase belaka. Karenanya, sudah sepantasnya jika pemerintah mesti memperkuat komitmennya terhadap persoalan pendidikan di negeri ini.
            Sekadar diketahui, mengurai benang kusut pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan terapi  khusus  dalam bentuk revolusi dan bukan sekadar reformasi.  Melihat kenyataan tersebut memang  perlu adanya sebuah keberanian termasuk tekad baik pemerintah seperti Pemkab Sinjai dalam perbaikan kualitas pendidikan. Harapan besar akan selalu dinanti masyarakat dari pemerintah untuk terus komitmen dan serius terhadap keputusan-keputusan pendidikan (apakah termasuk keputusan politik pendidikan) merupakan keputusan yang betul-betul pro rakyat dan menyentuh semua kalangan. Dengan niat yang suci, Sinjai akan menjadi daerah yang berpendidikan. Kita tunggu!   (*/Penulis: Takdir Kahar, S.Pd.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar