(Tinjaun tentang Pendidikan Gratis di Sinjai)
Gebrakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sinjai di bidang pendidikan dengan pembebasan biaya pendidikan pada tataran Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) mendapat acungan jempol dari masyarakat. Terobosan Pemkab tersebut, diyakini sebagai cikal bakal untuk menanti bangkitnya pendidikan di Kabupaten Sinjai. Perhatian khusus Pemkab di bidang pendidikan, harus didukung sepenuhnya dari semua kalangan masyarakat. Meski pembebasan biaya pendidikan tersebut, baru dilakukan pada level Sekolah Dasar sampai ke jenjang Sekolah Menengah Pertama.
Gebrakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sinjai di bidang pendidikan dengan pembebasan biaya pendidikan pada tataran Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) mendapat acungan jempol dari masyarakat. Terobosan Pemkab tersebut, diyakini sebagai cikal bakal untuk menanti bangkitnya pendidikan di Kabupaten Sinjai. Perhatian khusus Pemkab di bidang pendidikan, harus didukung sepenuhnya dari semua kalangan masyarakat. Meski pembebasan biaya pendidikan tersebut, baru dilakukan pada level Sekolah Dasar sampai ke jenjang Sekolah Menengah Pertama.
Perlahan tapi pasti. Mungkin kata tersebut yang cocok untuk pembebasan biaya
pendidikan di Sinjai. Sebab mayoritas penduduk Kabupaten Sinjai adalah petani
dan nelayan yang masih banyak tertinggal dalam bidang pendidikan. Selain karena
masyarakat tidak punya biaya, juga disebabkan adanya dikotomi pemikiran
masyarakat yang tidak peduli pada pendidikan.
Apakah pendidikan itu mahal? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang selalu
menyelimuti alur pemikiran bagi kalangan masyarakat, lebih khusus kepada
golongan masyarakat pinggiran atau minoritas.
Pasalnya, setiap tahun biaya pendidikan rata-rata mengalami peningkatan,
mulai pada jenjang Sekolah Dasar sampai ke jenjang tingkat Perguruan Tinggi.
Sebagai masyarakat minoritas, biasanya kurang mengetahui siklus
perkembangan pendidikan, termasuk siklus setiap perubahan yang terjadi di
negeri ini. Golongan masyarakat seperti itu, biasanya mempunyai analogi pemikiran
bahwa pendidikan itu ibarat sebuah barang langka yang terkesan mewah dan susah
terbeli, meski sepatutnya wajib dimiliki oleh setiap warga negara di negeri
tercinta Indonesia.
Tidak salah bila penyanyi kawakan Iwal Fals dalam lagunya "Mimpi yang
Terbeli" begitu menyentuh dengan kondisi realitas di atas, bahwa semuanya
bisa terbeli asal uang di kantong cukup dan tak ada soal.
Bila dianulir dalam setiap pemikiran kita,
maka pendidikan itu memang setara dengan sebuah hayalan besar yang
selalu diimpikan oleh rakyat untuk memilikinya. Tapi akankah itu bisa terwujud?
Kenyataannya, beberapa masyarakat menilai, --jangankan untuk duduk di bangku Sekolah Dasar hingga
nantinya bisa menjadi sarjana bagi masa depan orang tua, bangsa dan negeri
tercinta--, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari (primer) pun sangat susah.
Akan tetapi, adanya terobosan Pemerintah Kabupaten Sinjai dalam pembebasan
biaya pendidikan pada jenjang SD dan SMP, maka tidak ada alasan lagi bagi
masyarakat di Kabupaten Sinjai untuk
tidak menyekolahkan anaknya. Kebijakan Bupati tersebut, oleh kalangan
masyarakat dinilai sebagai langkah berani. Oleh sejumlah pakar pendidikan berargumen bahwa
pembebasan biaya pendidikan terkadang menghadapi masalah yang cukup berat.
Pasalnya, menyedot anggaran daerah yang tidak sedikit jumlahnya. Bahkan secara
jelas H Mohammad Surya, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, meragukan
adanya daerah yang berani menggratiskan biaya pendidikan, karena biaya
pendidikan sangat besar dan tidak mungkin murah atau gratis. Keraguan tersebut
sangat beralasan, sebab sesuai perkiraan Depdiknas, terwujudnya pendidikan yang
bermutu membutuhkan anggaran yang banyak dengan satuan biaya per tahun per
siswa ialah Rp. 13.4465 untuk SD, Rp. 27.4365 untuk SMP, Rp. 35.52269 untuk SMA
dan sekitar 40 juta untuk SMK.
Kendati demikian, penulis menilai bahwa terobosan-terobosan pembebasan
biaya pendidikan atau perhatian khusus kepada bidang pendidikan dari Pemerintah
Sinjai sudah sejalan dengan mukaddimah Undang-Undang dasar 1945. Secara jelas
telah tersurat dan tersirat bahwa salah satu tujuan nasional yang
dirumuskan oleh para pendiri negeri ini
adalah ’mencerdaskan kehidupan bangsa’. Makna fundamental yang terkandung dalam
pesan tersebut, bahwa kekuatan dan kemajuan sutau bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusia. Kata kuncinya adalah
pendidikan. Sementara pada Pasal 31 UUD 1945 telah mengamanatkan bawa setiap
warga negara berhak memperoleh
pendidikan, setiap warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan
pemerintah wajib menyediakan dananya. Masih dalam pasal itu, --pasca
amandemen—bahwa pemerintah mengupayakan tersedianya dana pendidikan
sekurang-kurangnya 20% di dalam APBN dan APBD.
Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
beasiswa bagi yang berprestasi yang
orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya (ayat 1 huruf c dan d). Selain
itu, pada pasal 40 ayat 1 dikatakan bahwa Pendanaan pendidikan menjadi
tanggungjawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sedangkan
alokasi dana pendidikan dijelaskan lagi pada pasal 49 ayat 1 bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan minimal 20% di
APBD.
Realitas di atas adalah gambaran tentang mahalnya pendidikkan. Namun
penulis kembali menilai dengan kebijakan Bupati Kabupaten Sinjai dalam
pembebasan biaya pendidikan di jenjang SD dan SMP adalah cerminan pemerintah
untuk melaksanakan amanat Undang-Undang. Selain itu, sebagai wujud, kemauan,
dan komitmen politik dari pemerintah untuk menempatkan pendidikan sebagai
kebutuhan sehingga menjadi prioritas
dalam keseluruhan pembangunan dan lebih khusus pada bidang pendidikan
dan terlepas dari konsekuensi mahalnya
anggaran untuk pendidikan.
Kenyataan dan fakta-fakta terobosan pemerintah di bidang pendidikan harus
didukung sepenuhnya. Mudah-mudahan Kabupaten Sinjai dapat bangkit dari benang
kusut pendidikan serta menjadi pilot projek di sejumlah daerah di Indonesia
dalam pembebasan pembiayaan pendidikan. Sehingga nantinya, kualitas pendidikan
nasional dapat bangkit kembali.
Sesuai
hasil survei sejumlah lembaga internasional, bahwa kualitas
pendidikan Indonesia sangat terpuruk atau tertinggal. Berdasarkan
laporan
Poliitical and Risck Consultan (PERC), kualitas pendidikan Indonesia
menempati
posisi terakhir dari 12 negara di dunia. Padahal, Indonesia adalah
negara yang lebih cepat memulai pembangunan dibandingkan dengan negara
Vitenam dan Kamboja yang sekarang lebih maju pendidikannya.
Permasalahan-permasalahan
tersebut membutuhkan ’political will’ yang kuat dari pemerintah.
Kapan pendidikan di Indonesia bangkit
untuk sejajar dengan sejumlah negara di ASEAN dan dunia pada umumnya? Penulis menilai, pendidikan Indonesia bisa
bangkit apabila dijadikan prioritas secara nyata. Bukan justru menempatkan
pendidikan diurutan terakhir serta menjadikan pendidikan sebagai alat
kepentingan. Sebab bisa saja nantinya pendidikan nasional Indonesia mengalami
suatu involusi -meminjam terminologi Clifford Geertz. Ibaratnya, pendidikan
Indonesia seperti kapal besar yang mengalami korosi dan mengaram. Makin lama
makin tenggelam. Terombang-ambing di tengah ombak, tanpa arah dan tujuan
jelas. Dengan kata lain, manusia-manusia
yang bergulat dalam dunia pendidikan bukan makin tumbuh cerdas, berwawasan
luas, berdedikasi tinggi, kreatif, jujur dan adil, atau beretos kerja meski
fasilitas fisiknya bertambah. (Kompas,
25/9/2004)
Realitas
dalam terminologi Clifford Geertz tersebut tidak boleh kita diamkan begitu
saja, apatahlagi kita terninabobokan dalam persaingan kompetisi. Pemerintah
sebagai penentu kebijakan, harus menggalang secepatnya sebuah kekuatan baru
yang maha pembaharu yang bisa memberi solusi untuk memperbaiki sistem
pendidikan serta menjadikan pendidikan yang utama dan pertama dalam mengangkat
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Seperti
yang pernah diberitakan dalam sebuah media massa nasional menyebutkan, sejumlah
negara-negara tetangga gencar menggenjot pendidikan bagi kemaslahatan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Seperti mantan Perdana Menteri Malaysia,
Mahamatir Mohammad pada tahun terakhir masa pemerintahannya menjadikan
pendidikan sebagai program terpenting. Begitupun dengan negara ASEAN lainnya
seperti Thailand melalui perdana
menterinya, Thaksin Shinawata melalui lima
menterinya berjuang sungguh-sungguh membenahi mutu sekolah dengan julukan
negeri gajah putih itu. Tidak terkecuali, negara sekecil Singapura
tak mau ketinggalan dalam bidang pendidikan.
Negara yang menjadi pusat perdagangan dan perekonomian di Asia Tenggara itu membuat terobosan yang
luar biasa dengan membuat program menciptakan masyarakat ilmu pengetahuan dan
pendidikan seumur hidup. Secara
totalitas jumlah siswa yang mendaftar
masuk ke SMA dan perguruan tinggi di Thailand, Filipina, Singapura, dan
Malaysia berada di atas pencapaian Indonesia.
Fakta-fakta tersebut janganlah
diabaikan begitu saja atau kita terlena dalam keterpurukan pendidikan di
Indonesia. Semua masyarakat dan
lebih-lebih pemerintah (eksekutif) serta semua wakil rakyat yang duduk di kursi
legislatif, --entah di pusat atau di daerah--, harus bersama-sama membenahi
peningkatan mutu pendidikan.
Harus diakui bahwa pendidikan adalah
mata rantai utama dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sehingga apapun adanya, pendidikan harus jadi
prioritas di negeri tercinta Indonesia.
Pasalnya. Ketika ada kebijakan di bidang pendidikan yang kurang bijak
dan tidak terlalu menyentuh secara riil akan sebuah pendidikan yang
sesungguhnya maka kemungkinan besar akan mengakibatkan degradasi secara serius
terhadap output pendidikan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa upaya
mempertajam kualitas SDM menjadi terhambat, dan pengaruhnya akan terus merembet
ke sektor-sektor lain.
Contoh kecil seperti kasus
penggelontoran atau pengusiran secara paksa tenaga kerja Indonesia (TKI)
sekarang ini dari negeri jiran Malaysia
adalah salah satu bukti nyata bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam hal
kualitas pendidikan. Jika para TKI sebelum ke luar negeri mempunyai bekal pendidikan
atau SDM yang matang tentu akan menempuh cara bekerja yang legal dan bukannya
secara ilegal. Dengan kata lain para TKI tidak dibodoh-bodohi oleh para calo
TKI dengan janji-janji palsu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, padahal
janji pekerjaan hanyalah kamuflase belaka. Karenanya, sudah sepantasnya jika
pemerintah mesti memperkuat komitmennya terhadap persoalan pendidikan di negeri
ini.
Sekadar
diketahui, mengurai benang kusut pendidikan tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Diperlukan terapi
khusus
dalam bentuk revolusi dan bukan sekadar reformasi. Melihat kenyataan
tersebut memang perlu adanya sebuah keberanian termasuk tekad
baik pemerintah seperti Pemkab Sinjai dalam perbaikan kualitas
pendidikan.
Harapan besar akan selalu dinanti masyarakat dari pemerintah untuk terus
komitmen dan serius terhadap keputusan-keputusan pendidikan (apakah
termasuk
keputusan politik pendidikan) merupakan keputusan yang betul-betul pro
rakyat
dan menyentuh semua kalangan. Dengan niat yang suci, Sinjai akan menjadi
daerah
yang berpendidikan. Kita tunggu! (*/Penulis: Takdir Kahar, S.Pd.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar