Foto: Dok. Larasita Gandhy |
Eksistensi dunia global dewasa ini telah membuat
batas-batas politik, ekonomi dan sosial budaya antar bangsa semakin buram dan
kabur. Namun sama kurang tepatnya ketika ditransformasi tanpa adanya sikap
kritis dan selektif oleh bangsa itu sendiri dalam pemaknaan realitasnya. Pada
hakekatnya, setiap bangsa selalu menjaga dan berusaha mempertahankan kemurnian
identitas bangsanya. Sementara globalisasi yang hadir dengan kekuatan yang
dahsyat mampu menggerakkan teater global dalam suatu konstruk.
Pada konteks inilah sehingga identitas
suatu bangsa menjadi semakin penting dan padat
dibahasakan. Sebab membanjirnya pengaruh dari luar, merupakan ancaman
besar bagi sendi-sendi kultural budaya bangsa dengan sendirinya dapat menjadi
benalu dalam mempertahankan esensial bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu faktor yang
ikut menjamin kelestarian identitas suatu bangsa adalah sejauh mana bangsa itu
mampu mempertahankan budayanya dari pengaruh asing yang masuk secara
serampangan.
Olehnya itu, seiring modernisai bangsa
Indonesia dengan laju pembangunan dewasa ini, jangan sampai nilai-nilai budaya
yang telah melekat erat pada naluri bangsa juga ikut termodernisasi oleh
pengaruh budaya asing. Dalam wujud kebudayaan, dasar konsep sosial merupakan pusaka
yang secara turun temurun terjaga dengan sendirinya karena keutamaan nilai
didalamnya dapat memberikan nilai khusus kepada sejumlah konsep abstrak yang
bersemayam dalam wadah pikir masyarakat. Konsep abstrak tersebut meliputi hal
yang ideal serta dipandang penting dalam
suatu komunitas masyarakat dengan relasi budaya antar daerah di seluruh
masyarakat Indonesia. Keanekaragaman latar budaya daerah Indonesia menjadi
sesuatu yang sangat bernilai jika terus digali, diolah, dan dikembangkan sebaik mungkin sehinggga memberikan
sumbangsih yang berarti bagi pembangunan dan pengembangan kultur budaya bangsa
Indonesia ke depan.
Konsep fenomena budaya dalam asumsi
dewasa ini adalah nilai-nilai esensial kebudayaan daerah Indonesia bukan lagi
sebagai nilai kemurnian yang mencerminkan makna sebenarnya dari adat budaya.
Akan tetapi merujuk pada tajuk bahwa budaya terus larut dalam pembauran
unsur-unsur budaya asing. Dinamika tersebut kerap disinggung oleh para
pemerhati budaya bahwa perlunya menjaga dan melestarikan budaya bangsa,
terutama budaya daerah yang menjadi akar pembangunan bangsa agar tidak terkikis
oleh derasnya pengaruh budaya luar yang semakin bebas
berkontraksi. Dalam hal ini, sasaran utama pengaruh dunia global
terletak pada gaya hidup remaja yang cenderung ikut-ikutan pada budaya-budaya
asing sehingga masalah tersebut kian merembes dan menyerang tiap titik nadi
dalam adat daerah dengan berawal pada interaksi lisan individu.
Faktor lain yang merupakan sasaran
kedua pengaruh asing terhadap budaya daerah tersingkap pada pemakaian bahasa.
Bahasa sebagai alat komunikasi juga sering diabaikan. Begitupun bahasa sebagai
milik masyarakat yang tersimpan dalam diri masing-masing individu. Setiap
individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa dan tingkah laku bahasa
individual yang dapat berpengaruh luas
pada anggota masyarakat utamanya pemakaian bahasa asing yang lebih mendominasi
bahasa lisan masyarakat. Dengan kata lain, bahasa hanya sekedar “bunyi yang
bersistem”. Akan tetapi persoalan bahasa bukan merupakan sebagai penghambat
terciptanya budaya daerah bangsa yang beranekaragam.
Dalam logika pemahaman, sesungguhnya
menjadi tanda tanya besar kelangsungan budaya Indonesia adalah aplikasi dan
aktualisasi dari perencanaan yang menjadi obyek apresiasi budaya sebagai
generasi pecinta budaya dengan didasarkan pada kultur adat Indonesia dari
Sabang sampai Merauke. Semua realitas tersebut
perlu mendapat perhatian penuh dari seluruh komponen masyarakat
Indonesia.
Bertolak dari defenisi budaya itu
sendiri, menurut paham nenek moyang dahulu bahwa kebudayaan adalah jati diri
dan kehormatan yang dipegang kuat serta diyakini sebagai suatu senjata sakral
dalam pengaturan kehidupan mereka. Ditekankan juga bahwa budaya menyimpan
unsur-unsur kemistikan tersendiri bagi masyarakat. Hal ini tergambar pada
potret kebudayaan di suatu daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten
Bulukumba, daerah Kajang.
Di daerah itu, terdapat satu kelompok
masyarakat yang sangat kokoh memegang tradisinya. Lantaran, di dalam daerah
tersebut hidup komunitas yang meyakini
sebuah nilai-nilai kehidupan yang sangat berbeda dengan tata budaya daerah
lain. Bukan hanya soal fisik yang ditampilkan dalam keseharian dengan seragam
“kehitaman” namun juga keyakinan mereka yang teguh dan tidak tergoyahkan yang
dianut selama ini. Pada hakekatnya, mereka hidup dalam komunitas Kajang merasa
tidak ada yang ganjil dalam menjalani kronik kehidupan ini.
Seperti komunitas lainnya di republik
ini, mereka tidak ingin mengganggu karena mereka juga tidak ingin diganggu atau
dengan kata lain terdapat sikap saling menghargai. Mereka beranggapan bahwa
nilai-nilai hidup yang mereka pegang, berjalan sebagaimana nilai-nilai hidup
komunitas lainnya. Mereka mempertahankan pola yang dilahirkan oleh sistem nilai
budaya warisan nenek moyangnya dan cenderung kurang menerima bahkan menolak
sama sekali hal-hal baru yang dianggap bersifat modernisasi.
Dari keyakinan itu sehingga mereka
menganggap bahwa nilai-nilai disekutukan dengan nilai-nilai luar, sehingga
nilai-nilainya sudah terkikis atau
bahkan hilang. Karenanya, mereka menolak tegas sehingga hal ini perlu dihargai sebagai
bagian dari tatanan adat budaya daerah Indonesia. Selain itu, spesifikasi mereka
juga merupakan akibat tidak langsung dari keterisoliran dari “dunia luar”, disamping
oleh sistem nilai yang mereka anut memuat sejumlah pantangan yang apabila tidak
diindahkan akan menyebabkan hal-hal yang tidak dikehendaki.
Sikap hidup mereka dengan sengaja
mengisolir diri dengan maksud supaya terhindar dari perbuatan atau tindakan
yang tidak diharapkan dengan mengutamakan prinsip Kamase-masea yang berarti
bahwa mengutamakan kehidupan yang miskin di dunia agar kelak memperoleh imbalan
kekayaan dari Tuhan di hari kemudian. Sebagai gejala kebudayaan, religi tidak
terlepas keterkaitannya dengan kebudayaan luas. Mereka masih memegang kuat
kepercayaan animisme, percaya adanya kekuatan-kekuatan pada benda-benda
tertentu. Secara formal kelompok Kajang yang berdiam dalam ilalang embayya mengaku beragama islam, namun pelaksanaan
syariat islam tidak begitu dipatuhi dan mereka lebih cenderung memahami islam
dari segi hakekat. Dasawarsa belakangan ini, pemerintah telah berusaha
mengurangi keterisolasian komunitas tersebut dengan giat memberikan penerangan
agama dan pembangunan tempat peribadatan.
Itulah yang membuat wilayah ini mencuat ke permukaan dan dari keunikan
tersebut, mengundang para peneliti untuk merasa terpanggil memahami cara hidup
dan budaya mereka.
Melihat potret budaya diatas, sehingga
perlu dimaknai dengan jelas bahwa dalam dunia global saat ini masih terdapat
daerah atau komunitas masyarakat budaya yang tetap memegang teguh pendirian
adat budayanya dari pengaruh-pengaruh luar, sehingga tidak salah jika dikatakan
bahwa Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya daerah yang merupakan mahkota
lahirnya budaya nasional.
Namun semua hal tersebut tidak
terlepas dari peran pemerintah dan masyarakat dalam memberikan ruang gerak bagi
peminat budaya untuk mempelajari lebih dalam serta memberikan asumsi-asumsi dan
kontribusi pelestarian adat daerah demi ketatanan budaya bangsa sebagai
simbolisasi bangsa Indonesia. Sehingga kemurnian adat Indonesia dipandang
penting untuk dilestarikan dan dipertahankan yang semakin lama semakin
tenggelam dan terpuruk sebagai pajangan dalam konsep khasanah kekayaan
Indonesia.
Sungguh menjadi suatu tantangan besar
bangsa Indonesia dalam mengemban jati diri yang khas dalam kontekstualisasi
kesatuan budaya daerah yang beranekaragam. Olehnya itu menyongsong era kedepan,
persatuan akan kemurnian budaya daerah menjadi tanggung jawab utama semua
elemen masyarakat Indonesia sebagai suatu bentuk refleksi kesadaran generasi
Indonesia akan adat budaya daerahnya. Dengan harapan bahwa keanekaragaman
tersebut dapat dijaga sebaik-baiknya
sehingga menjadi suatu obyek budaya dalam indeks potret khas bangsa Indonesia,
terutama dalam kemurnian kultur budaya didalamnya. Sehingga dapat sejalan
dengan kalimat semboyan Indonesia yang “Berbhineka Tunggal Ika” sebagai bangsa
yang berbudaya. Berbudaya dalam bertutur serta berbudaya dalam ukiran masa
depan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar