Rabu, 22 Mei 2013

BUDAYA DAERAH DAN GEMPURAN MODERNISASI



Foto: Dok. Larasita Gandhy

Eksistensi  dunia global dewasa ini telah membuat batas-batas politik, ekonomi dan sosial budaya antar bangsa semakin buram dan kabur. Namun sama kurang tepatnya ketika ditransformasi tanpa adanya sikap kritis dan selektif oleh bangsa itu sendiri dalam pemaknaan realitasnya. Pada hakekatnya, setiap bangsa selalu menjaga dan berusaha mempertahankan kemurnian identitas bangsanya. Sementara globalisasi yang hadir dengan kekuatan yang dahsyat mampu menggerakkan teater global dalam suatu konstruk.
Pada konteks inilah sehingga identitas suatu bangsa menjadi semakin penting dan padat  dibahasakan. Sebab membanjirnya pengaruh dari luar, merupakan ancaman besar bagi sendi-sendi kultural budaya bangsa dengan sendirinya dapat menjadi benalu dalam mempertahankan esensial bangsa. Hal  ini menunjukkan bahwa salah satu faktor yang ikut menjamin kelestarian identitas suatu bangsa adalah sejauh mana bangsa itu mampu mempertahankan budayanya dari pengaruh asing yang masuk secara serampangan.
Olehnya itu, seiring modernisai bangsa Indonesia dengan laju pembangunan dewasa ini, jangan sampai nilai-nilai budaya yang telah melekat erat pada naluri bangsa juga ikut termodernisasi oleh pengaruh budaya asing. Dalam wujud kebudayaan, dasar konsep sosial merupakan pusaka yang secara turun temurun terjaga dengan sendirinya karena keutamaan nilai didalamnya dapat memberikan nilai khusus kepada sejumlah konsep abstrak yang bersemayam dalam wadah pikir masyarakat. Konsep abstrak tersebut meliputi hal yang ideal serta dipandang  penting dalam suatu komunitas masyarakat dengan relasi budaya antar daerah di seluruh masyarakat Indonesia. Keanekaragaman latar budaya daerah Indonesia menjadi sesuatu yang sangat bernilai jika terus digali, diolah, dan dikembangkan  sebaik mungkin sehinggga memberikan sumbangsih yang berarti bagi pembangunan dan pengembangan kultur budaya bangsa Indonesia ke depan.
Konsep fenomena budaya dalam asumsi dewasa ini adalah nilai-nilai esensial kebudayaan daerah Indonesia bukan lagi sebagai nilai kemurnian yang mencerminkan makna sebenarnya dari adat budaya. Akan tetapi merujuk pada tajuk bahwa budaya terus larut dalam pembauran unsur-unsur budaya asing. Dinamika tersebut kerap disinggung oleh para pemerhati budaya bahwa perlunya menjaga dan melestarikan budaya bangsa, terutama budaya daerah yang menjadi akar pembangunan bangsa agar tidak terkikis oleh derasnya pengaruh budaya luar yang semakin bebas berkontraksi. Dalam hal ini, sasaran utama pengaruh dunia global terletak pada gaya hidup remaja yang cenderung ikut-ikutan pada budaya-budaya asing sehingga masalah tersebut kian merembes dan menyerang tiap titik nadi dalam adat daerah dengan berawal pada interaksi lisan individu.
Faktor lain yang merupakan sasaran kedua pengaruh asing terhadap budaya daerah tersingkap pada pemakaian bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi juga sering diabaikan. Begitupun bahasa sebagai milik masyarakat yang tersimpan dalam diri masing-masing individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa dan tingkah laku bahasa individual  yang dapat berpengaruh luas pada anggota masyarakat utamanya pemakaian bahasa asing yang lebih mendominasi bahasa lisan masyarakat. Dengan kata lain, bahasa hanya sekedar “bunyi yang bersistem”. Akan tetapi persoalan bahasa bukan merupakan sebagai penghambat terciptanya budaya daerah bangsa yang beranekaragam.
Dalam logika pemahaman, sesungguhnya menjadi tanda tanya besar kelangsungan budaya Indonesia adalah aplikasi dan aktualisasi dari perencanaan yang menjadi obyek apresiasi budaya sebagai generasi pecinta budaya dengan didasarkan pada kultur adat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Semua realitas tersebut  perlu mendapat perhatian penuh dari seluruh komponen masyarakat Indonesia.
Bertolak dari defenisi budaya itu sendiri, menurut paham nenek moyang dahulu bahwa kebudayaan adalah jati diri dan kehormatan yang dipegang kuat serta diyakini sebagai suatu senjata sakral dalam pengaturan kehidupan mereka. Ditekankan juga bahwa budaya menyimpan unsur-unsur kemistikan tersendiri bagi masyarakat. Hal ini tergambar pada potret kebudayaan di suatu daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Bulukumba, daerah Kajang.
Di daerah itu, terdapat satu kelompok masyarakat yang sangat kokoh memegang tradisinya. Lantaran, di dalam daerah tersebut  hidup komunitas yang meyakini sebuah nilai-nilai kehidupan yang sangat berbeda dengan tata budaya daerah lain. Bukan hanya soal fisik yang ditampilkan dalam keseharian dengan seragam “kehitaman” namun juga keyakinan mereka yang teguh dan tidak tergoyahkan yang dianut selama ini. Pada hakekatnya, mereka hidup dalam komunitas Kajang merasa tidak ada yang ganjil dalam menjalani kronik kehidupan ini.
Seperti komunitas lainnya di republik ini, mereka tidak ingin mengganggu karena mereka juga tidak ingin diganggu atau dengan kata lain terdapat sikap saling menghargai. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai hidup yang mereka pegang, berjalan sebagaimana nilai-nilai hidup komunitas lainnya. Mereka mempertahankan pola yang dilahirkan oleh sistem nilai budaya warisan nenek moyangnya dan cenderung kurang menerima bahkan menolak sama sekali hal-hal baru yang dianggap bersifat modernisasi.
Dari keyakinan itu sehingga mereka menganggap bahwa nilai-nilai disekutukan dengan nilai-nilai luar, sehingga nilai-nilainya sudah terkikis atau  bahkan hilang. Karenanya, mereka menolak tegas  sehingga hal ini perlu dihargai sebagai bagian dari tatanan adat budaya daerah Indonesia. Selain itu, spesifikasi mereka juga merupakan akibat tidak langsung dari keterisoliran dari “dunia luar”, disamping oleh sistem nilai yang mereka anut memuat sejumlah pantangan yang apabila tidak diindahkan akan menyebabkan hal-hal yang tidak dikehendaki.
Sikap hidup mereka dengan sengaja mengisolir diri dengan maksud supaya terhindar dari perbuatan atau tindakan yang tidak diharapkan dengan mengutamakan prinsip Kamase-masea yang berarti bahwa mengutamakan kehidupan yang miskin di dunia agar kelak memperoleh imbalan kekayaan dari Tuhan di hari kemudian. Sebagai gejala kebudayaan, religi tidak terlepas keterkaitannya dengan kebudayaan luas. Mereka masih memegang kuat kepercayaan animisme, percaya adanya kekuatan-kekuatan pada benda-benda tertentu. Secara formal kelompok Kajang yang berdiam dalam ilalang embayya  mengaku beragama islam, namun pelaksanaan syariat islam tidak begitu dipatuhi dan mereka lebih cenderung memahami islam dari segi hakekat. Dasawarsa belakangan ini, pemerintah telah berusaha mengurangi keterisolasian komunitas tersebut dengan giat memberikan penerangan agama dan pembangunan  tempat peribadatan. Itulah yang membuat wilayah ini mencuat ke permukaan dan dari keunikan tersebut, mengundang para peneliti untuk merasa terpanggil memahami cara hidup dan budaya mereka.
Melihat potret budaya diatas, sehingga perlu dimaknai dengan jelas bahwa dalam dunia global saat ini masih terdapat daerah atau komunitas masyarakat budaya yang tetap memegang teguh pendirian adat budayanya dari pengaruh-pengaruh luar, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya daerah yang merupakan mahkota lahirnya budaya nasional.
Namun semua hal tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah dan masyarakat dalam memberikan ruang gerak bagi peminat budaya untuk mempelajari lebih dalam serta memberikan asumsi-asumsi dan kontribusi pelestarian adat daerah demi ketatanan budaya bangsa sebagai simbolisasi bangsa Indonesia. Sehingga kemurnian adat Indonesia dipandang penting untuk dilestarikan dan dipertahankan yang semakin lama semakin tenggelam dan terpuruk sebagai pajangan dalam konsep khasanah kekayaan Indonesia.
Sungguh menjadi suatu tantangan besar bangsa Indonesia dalam mengemban jati diri yang khas dalam kontekstualisasi kesatuan budaya daerah yang beranekaragam. Olehnya itu menyongsong era kedepan, persatuan akan kemurnian budaya daerah menjadi tanggung jawab utama semua elemen masyarakat Indonesia sebagai suatu bentuk refleksi kesadaran generasi Indonesia akan adat budaya daerahnya. Dengan harapan bahwa keanekaragaman tersebut  dapat dijaga sebaik-baiknya sehingga menjadi suatu obyek budaya  dalam indeks potret khas bangsa Indonesia, terutama dalam kemurnian kultur budaya didalamnya. Sehingga dapat sejalan dengan kalimat semboyan Indonesia yang “Berbhineka Tunggal Ika” sebagai bangsa yang berbudaya. Berbudaya dalam bertutur serta berbudaya dalam ukiran masa depan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar